Rabu, 05 Desember 2007

ERHAN ‘SAYUR MATUA’


Sudah menjadi kebiasaan saya, setiap mendengar berita adanya keluarga meninggal dunia, saya bukannya bergegas ke rumah duka, melainkan dengan tenang saya merencanakan upaya menyebarkan berita dukacita itu kepada sanak keluarga.
Demikian juga dengan berita dukacita Erhan meninggal dunia. Setelah menerima telpon dari Ani (anak Sudiman) mengabarkan Erhan sudah meninggal sekitar jam 13.00, Selasa 19 Juni 2007, saya meraih HP Communicator, mengetik berita duka tersebut, memasukkan no. HP semua anggota Bodil Banggal yang ada di memori HP saya dan sekali klik mengirimkannya ke seluruh Indonesia. Tak lama kemudian, balasan datang dari Ruliah (anak Tormahalam Justin / Bede) mengucapkan terimakasih karena dikabari, sekalian menyampaikan permintaan agar saya jaga kesehatan. Balasan juga datang dari Rosenni (anak Bapatua Lesman Banuhraya).
Erhan sudah lebih kurang dua bulan sakit. Lebih sebulan dirawat di RSUP. Selanjutnya dirawat di rumah. Konon atas permintaan yang bersangkutan. Ketika mendengar kabar bahwa Erhan di rumah sakit, saya tidak bisa menjenguk karena sedang berjuang melawan flu. Melalui pertemuan sesama Bodil Baggal, saya mengikuti perkembangan kesehatan Erhan yang kabarnya tidak ada kemajuan. Kemungkinan besar gagal ginjal.
Ketika Marim menyelenggarakan syukuran HUT 70 untuk saya, sudah dapat saya pastikan bahwa Erhan tidak bisa datang. Tidak lagi seperti biasanya, yang setiap ada acara di kalangan Sigumonrong 19-bersaudara, Erhan senantiasa hadir.
Bahkan Erhan termasuk orang yang suka mengunjungi saudara dan sanak keluarga. Hanya sekedar berkunjung. Layaknya unjuk muka, menunjukkan dia masih ada.
Beberapa tahun silam, Erhan datang ke rumah kami di Jl Karya, Medan. Dalam percakapan kami yang seperti tak akan ada habisnya, dia menyampaikan keluhannya. Empat anaknya, laki-laki semua. Dari empat orang anak tersebut baru satu yang sudah kawin. Itupun telah berpisah tanpa cerai. Sang isteri pergi ke Batam membawa anaknya. Si Ewin, sang suami memilih tinggal bersama mereka di Medan. Anak yang tiga lagi belum kawin juga.
Saya berusaha menghibur Erhan, dengan mengatakan: serahkanlah kuatirmu kapada Tuhan...., bukankah kau sudah lama jadi Sintua? Pernah juga Wakil Pengantar Jemaat.
Tak lama kemudian, anak sulungnya, si Iwan, menikah. Anak satunya lagi meninggal dunia. Dan anak bungsunya, si Tuah, menikah, dan memberinya seorang cucu.
Dengan demikian, pada saat Erhan meninggal, semua anaknya sudah menikah dan Erhan sudah punya cucu dua orang (walaupun hanya satu yang ada disampingnya pada saat dia meninggal karena cucu yang satu lagi dibawa ibunya yang memisahkan diri ke Batam).
Dengan keadaan seperti itu, musyawarah adat yang diadakan tanggal 20 malam merestui diadakan upacara adat ‘sayur matua’ kepada Erhan.
Semula saya meminta agar Sariaman (anak Rajin) yang mengemban tugas mewakili Sanina-19. Tetapi karena saya masih ragu akan kemampuan (adat) Sariaman, akhirnya saya mengambil alih kendali. Sariaman saya minta mendampingi, siapa tau tiba-tiba saya tumbang. Sekaligus, melalui ‘horja sayur matua’ Erhan tersebut, saya ingin memperagakan pelaksanaan ‘horja sayur matua’ sesuai dengan aslinya di Raya.
Pada musyawarah adat yang juga dihadiri STM ‘Parsahutaon’ (yang kebanyakan terdiri dari Toba) dan STM GKPS Kenanga (yang lagi bangkit semangatnya mar-Simalungun), saya minta persetujuan rapat agar musyawarah dipandu oleh Anakborujabu, yakni Jupri (anak Jupin, cucu Justin/Bede, menantu Sudiman). Alasan saya, menurut adat di Raya, Anakborujabu yang bertanggungjawab atas pelaksanaan adat di rumah kami, Tondong-nya.
Ternyata musyawarah adat berjalan lancar dan tepat waktu. Setelah musyawarah selesai, di depan sang Anakborujabu, saya berbisik (keras) kepada Jumpatuah (suami Lydia, menantu saya, anak Oji Saragih, ‘co-writer’ saya menerbitkan buku ‘Horja Sayur Matua’), berapa nilai yang dapat diberikan kepada Anakborujabu. Jawabnya tanpa pikir panjang: 99.
Pelaksanaan acara adat ‘Sayur Matua’ esok harinya dipandu sepenuhnya oleh Anakborujabu. Kami, mewakili ‘Suhut’ Sanina-19, bisa bergantian tampil (mejeng?) menyambut sanak keluarga yang bergantian datang ‘mangiligi’. Terkadang Sariaman, terkadang Ned Riahman (anak Lamat), terkadang Sarmedi (anak Tarianus). Saya hanya tampil saat ‘mangappu’ (kata sambutan terakhir), dan pembicara terakhir saat ‘paugeihon bajut’ dan menyampaikan kata penghiburan pada malam harinya. Itupun, karena Asang (selaku anak tertua dari sanina-19 yang masih hidup) tidak bisa hadir karena sudah tidak bisa bepergian jauh. (=tidak bisa jauh dari toilet)
Setelah tiga hari tiga malam konsentrasi dan kurang tidur, saya bersyukur kepada Tuhan karena ternyata Dia memberi kekuatan sehingga saya tidak tumbang. Lawei Ulung (75) agak kurang beruntung. Dia juga berusaha ‘bergadang’, tanpa istirahat mengikuti (dan mengawasi) pelaksanaan adat ‘sayur matua’. Tetapi, menjelang usai acara terakhir tgl 21 malam (yang berlangsung jam 20.30-21.30), Lawei Ulung sempat ‘tumbang’ dalam arti menggigil dan minta dipijat. Ketika pulang, terpaksa dia berjalan dipapah menuju mobil Alpin.
Saya juga bersyukur karena acara terlaksana dengan baik, lancar, tepat waktu; yang hadir (dan ikut ‘mangan tanom ni Erhan’ yang bermakna dijamu oleh Erhan untuk terakhir kalinya) cukup banyak, sekitar 300-400 orang; dan doa kami yang dipanjatkan seusai musyawarah adat dikabulkan Tuhan: cuaca baik, tidak hujan sampai acara selesai (setelah kami meninggalkan rumah duka, barulah hujan turun, tapi tidak lebat).
Saat saya menyampaikan ‘pidato’ penutup, saya tak bisa menahan diri untuk menyampaikan kegembiraan saya.
Pertama: Erhan ternyata dapat menghadirkan semua unsur Bodil Baggal. Dari Anggarahim, hadir Haris (anak Sudiman, yang datang dari Bali), semua anak Darman yang ada di Medan, anak Lerman, anak Derlim (yang datang dari Siantar). Hadir juga para menantu (hela), termasuk yang datang dari Sidikalang. Dari Tarianus: hadir Haris Hemdy (anak Saridin), Nan Jordi dan Jordi, saya dan Ichtus, Sarmedi. Dari Lamat: hadir Ned Riahman, Sarmauli, Sarmenni. Dari Rajin: hadir Sariaman dan Ny. Tiktik Santiaman. Dari Atam: hadir Lala (anak Lesman) dan beberapa anak Jamat, anak Marialim, Ny. Riahman (Riahman lagi sakit, seperti Asang). Dari Bede: hadir Jupri, yang sekaligus mengemban tugas kakeknya sebagai Anakborujabu. Dari Kolo: hadir Ennik berikut anak-anaknya.
Kedua: Ketika Alvin menyampaikan Laporan Keuangan, ternyata pengeluaran dapat seimbang dengan penerimaan, yakni penerimaan dari Buku Tuppak + ‘salam-salam’ + Buku Tuppak dari Sigumonrong&Boru&Boru Mintori. Bahkan masih ada saldo lebih 100.000 rupiah.
Erhan adalah anak laki yang bungsu dari Anggarahim. Abangnya, yakni Sudiman, Darman, Lerman, Juda, dan Derlim, sudah lebih dulu ‘pergi’. Hanya Darman yang sempat duda. Karena itu, kecuali Darman, mereka masih meninggalkan ‘inang’: Ny. Sudiman, Ny. Lerman, Ny. Derlim, Ny. Erhan. Dua puteri Anggarahim masih ada, dengan setia menunggu ‘tondong’-nya pergi lebih dulu.
Dari sanina-19, masih tersisa 6 orang lagi (saat ‘laporan’ ini ditulis), yakni 2 di Raya, 2 di Siantar, 2 di Medan. Botou dari sanina-19 yang tadinya ada 2+4+1, masih tersisa 5, yakni 2 di Siantar, 2 di Medan dan 1 di Jakarta.
Semoga yang tersisa tadi bersabar menunggu giliran ‘pergi’, agar anak dan boru dari Sanina-19 sempat tarik napas dan istirahat sejenak sebelum berkumpul kembali seperti tanggal 19-21 Juni 2007 yang lalu.


Mansen Purba – 23/06/07